Di Balik Lelaki Kopi

6:43 AM


Pahit.

Kata itulah pertama kali muncul di benak saya tentang kopi. Sebagai orang yang bukan penggemar kopi, saat sedang berada di coffee shop pun, saya biasanya nggak pilih menu kopi.

Nah, saya itu sukanya teh. Kayak green tea, chamomile, jasmine pokoknya teh, deh. Apalagi kalau dicampur susu, kayak Chai Latte. Itu suka banget. 

Chai Latte

Thai Tea juara!


Back to the topic, kita lagi ngomongin kopi bukan teh. Saya iseng ikut lomba cerpen. Cerpennya bisa dilihat sebelum postingan ini. Atau bisa dilihat di sini Lelaki Kopi.

Cerpennya itu harus bertemakan kopi Indonesia. Saya yang jarang minum kopi dan nggak tahu sedikit pun mengenai kopi, akhirnya browsing sana-sini buat tahu hal dasar tentang kopi.

Saya hampir baca semua artikel di sini dan di sini.

Dari yang nggak suka kopi, perlahan-lahan tersihir dengan semua bacaan mengenai cairan hitam itu. Saya baru tahu, ternyata kopi itu asalnya dari salah satu negara miskin di dunia, Ethiopia, Benua Afrika yang kemudian dibudidayakan oleh bangsa Arab.

Nggak nyangka minum yang udah jadi lifestyle di belahan negara mana pun. Cikal bakalnya berasal dari negara kering, yang buat makan aja susah.

Kopi sendiri konon berasal dari istilah bahasa Arab yaitu "qahwa" yang artinya "kekuatan". Lalu diadaptasi ke bahasa masing-masing negara. Seperti "kahve" di Turki, bahasa Belanda "koffie", Bahasa Perancis "cafe", bahasa Italia "caffe" dan bahasa Inggris "coffee".

Di Indonesia sendiri kemungkinan besar kopi diserap dari bahasa Belanda "koffie". Di mana pada masa penjajahan dulu, Belanda membawa masuk kopi ke Indonesia.

Secara garis besar kopi itu terbagi dua, Arabica dan Robusta. Arabica adalah biji kopi kelas satu, terbaik. Lalu Robusta, biji kopi kelas dua. 

Arabica lebih banyak diproduksi dan lebih mahal dibandingkan Robusta. Juga lebih digemari karena rasa dan aromanya yang kaya. Tapi selain itu ada jenis Liberica.




Untuk mendukung semua referensi artikel yang saya baca, saya mampir ke salah satu kedai kopi di Pekanbaru, Krema Coffie. Setelah sebelumnya sempat chat dengan baristanya melalui handphone. Dia mengajak untuk mampir langsung mencicipi.

Mengapa saya memilih Krema? Coffee shop kini menjamur di mana-mana di Pekanbaru. Tapi nggak semua benar-benar menjual kopi.

“Di sini emang jualan kopi dan enak. Bukan kayak di tempat lain, cuma buat foto-foto doang”, ujar salah satu teman saya saat itu. Dia penggemar kopi dan mengajak saya ke Krema.

Belakangan saya baru tahu arti Krema. "Krema" adalah buih bewarna kuning tua di atas espresso. Kalau "Arema" itu Arek Malang. Dan "Macarena" artinya sebuah tarian. Nggak ada hubungannya, sih.

Saya mampir ke Krema untuk mencicipi kopi kesukaan Gale, tokoh di Lelaki Kopi. Secangkir single origin, Toraja Yale. Di mana sebenarnya ini adalah favorit si barista, Mas Surya.

Dari artikel yang saya baca, single origin sesuai dengan istilahnya "origin" adalah sumber pertama asal dari kopi tersebut. Untuk lokal sendiri yang paling terkenal adalah Single Origin Gayo, Bali Kintamani, Toraja Yale dan beberapa lainnya.

Katanya cara terbaik untuk minum kopi ialah dengan minum single origin ini. Lantaran tanpa dicampur dengan kopi lain. Kopi yang kita minum biasanya itu adalah campuran.

Mas Surya bilang metode yang paling enak untuk menikmati single origin ini adalah dengan manual brew. Dengan manual brew karakter asli kopi akan keluar.

Manual brew atau penyeduhan secara manual tanpa bantuan mesin ini pun, tak sesederhana yang saya bayangkan prosesnya.

Di otak saya, bubuk kopi cukup diseduh air panas udah selesai, beres! Ternyata nggak, manual brew sendiri itu ada berbagai macam.

Dari V60, Bench Press, Aeropress, Chemex dan masih banyak lainnya.

Manual brew yang disukai Mas Surya untuk Toraja Yale adalah V60. V60 adalah metode pour over menggunakan alat Hario V60 yang berbentuk seperti cangkir dan kerucut bagian bawahnya. Dengan cara penyeduhan ini kopi yang dihasilkan akan bersih dan karakter kopi sebenarnya muncul. 




Mas Surya menghidangkan kopi di depan saya dan menyuruh untuk segera mencicipinya. Warnanya cokelat, nggak hitam seperti yang selama ini saya tahu. “Minumnya pelan-pelan, diseruput. Coba dicium wanginya”, suruhnya.



Indera penciuman saya dipenuhi bau kopi dan menyeruput pelan-pelan. Toraja Yale terkenal dengan rasa fruity-nya. Tapi hanya ada satu rasa di lidah saya, asam. Saya nggak bisa tahu rasa lainnya. Mungkin karena saya nggak pernah minum kopi, jadi nggak tahu bedanya. 


Toraja Yale

Selain itu Mas Surya juga membuatkan secangkir espresso dari biji kopi yang sama Toraja Yale, light roast. Dan rasanya tetap sama aja menurut saya, asam.

“Kalau untuk espresso, light roast itu nggak enak. Enaknya medium atau dark sekalian”, tambah Koh Andri, owner Krema Coffie yang ikut nimbrung pembicaraan kami. Saya cuma manggut-manggut.

Malam itu persepsi saya terhadap kopi terpatahkan.

Kopi yang selama ini saya kira cuma punya satu rasa, pahit dan berwarna hitam. Seperti secangkir kopi Bapak dulu, yang ampasnya selalu meninggalkan jejak di sekeliling bibir setelah diminum.

Ternyata itu kopi tubruk. Bubuk kopi yang diseduh air panas dan tersisa ampas di bawahnya. Jenis kopi robusta, karena Robusta terkenal dengan satu rasa, pahit. Berbeda dengan Arabica yang punya berbagai macam rasa.

Saya juga jadi tahu sebenarnya Americano dan Long Black itu sama. Hanya perbedaan nama daerah asal. 

Americano itu dari America, di mana espresso dulu dituang baru dimasukkan air. Kalau Long Black itu air dulu dituang, baru ditambahkan espresso dan ini kebiasaan orang Australia.

Saya baru menyadari espresso, nama minuman asal Italia, yang dibuat dengan tekanan air panas tinggi disembur ke ekstrasi kopi itu adalah dasar untuk minuman kopi lainnya.

Seperti Americano dan Long Black yang komposisinya espresso ditambah air. Untuk cappucino, latte, dan white Ice itu espresso yang ditambahkan steamed milk dan jenis-jenis nama olahan kopi lainnya.


source : pinterest

Espresso menjadi bahan dasar utama. Itulah kenapa mesin espresso menjadi sebuah prestige di setiap kedai kopi. Mereka selalu membanggakan mesin espresso apa yang dipakai.



Selain single origin dan espresso, malam itu saya juga disajikan cascara. Teh yang terbuat dari cherry kopi. Cherry adalah kulit biji kopi.

Dan, ya, tentu saja dari kopi tadi, saya lebih suka teh yang terbuat dari kulit kopi ini. Saya ngerasa ini emang beneran minuman.


Cascara

Dalam artikel “Apa Anda Pemilik Gen Kopi” ini dijelaskan bahwa ada dua tipe orang. Pemilik gen kopi dan yang bukan.

Orang yang memiliki gen kopi ‘gen cepat’, akan langsung merasakan manfaat kopi setelah minum. Kafein akan segera bereaksi dan membuat peminumnya akan segar.

Sepertinya saya adalah orang yang nggak punya gen kopi atau ‘gen lambat’. Metabolisme lambat, dan minum kopi tidak memberikan dampak apa-apa ke tubuh.

Saya nggak pernah minum kopi kalau lagi begadang supaya tetap terjaga, atau butuh tenaga agar tetap melek saat capek. Sebab saya tahu, kopi nggak ngasi efek apa-apa ke saya.

Setelah minum tiga cangkir kopi malam itu, pulangnya saya nguap-nguap ngantuk banget. See, coffee doesn’t work well in my body.

Coffee is not cup of my tea!

Tapi semenjak itu, saya nggak pernah lagi memandang secangkir kopi dengan sama. Kopi tak sesederhana itu lagi di mata saya.

Ada banyak cerita di dalamnya. Ada dedikasi, cinta, pengorbanan, harapan di setiap cangkir kopi yang hadir di meja kita.

Saya pernah menonton sebuah dokumentasi mengenai seorang pria yang menghabiskan hidupnya bekerja menyangrai kopi, coffee roaster. Memastikan kopi yang disangrainya sempurna.

Selama ini kita cuma tahu barista yang meracik dan menghadirkanya ke hadapan kita. Di balik barista ada orang-orang yang yang mendedikasikan hidupnya untuk kopi. Bukan sekedar kerja tapi cinta.

Dari Gale Lelaki Kopi saya belajar mengenal sesuatu yang dahulunya saya nggak suka. Beruntung bersinggungan dengan dunianya. Kopi. 

Saya tahu kenapa seseorang bisa begitu jatuh cinta pada kopi. Kopi tak sekedar rasa tapi ada cerita di setiap aroma. Ada ketenangan di setiap sesapan. Ada harapan di setiap seduhan.


Jadi, kapan kita ngopi?



You Might Also Like

2 komentar

  1. Kopi emang selalu punya cerita sendiri ya, Mbak.

    Kapan nih ajak aku ngopi, Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau nanti main-main ke Lampung dikabarin deh Mas Fajrinnya. Kita ngopi. :)

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Subscribe