Keindahan Itu di Sekumpul!
9:17 AM
“Hah..hah..hah,” terdengar suara napas memburu.
Terengah-engah sibuk mengatur napas. Sebelah tangan mencengkeram erat pegangan tangga, menopang badan agar kaki tetap melangkah. Entah sudah berapa anak tangga yang didaki tapi seperti tak ada ujungnya. “Nanti pokoknya di atas harus naik ojek, nggak mungkin jalan lagi”, rutuk saya.
Di awal kesombongan telah menghinggapi langkah ini.
Tak jauh-jauh, saya masih berada di Bali. Pulaunya para Dewa ini ternyata tak hanya menawarkan barisan pantai-pantai indah. Bali masih menyimpan banyak pesona lainnya.
Salah satunya adalah yang tengah saya dan tim KitaINA sambangi. Kumpulan mereka yang jatuh, air terjun. Di mana untuk menemuinya harus sedikit bersusah payah.
Katanya sesuatu yang indah butuh pengorbanan. Saya mengamini.
Setelah hari-hari sebelumnya kami bercumbu dengan laut, kulit diciumi habis-habisan oleh cuaca laut sampai merona kehitaman. Kali ini kami memilih untuk mendaki gunung lewati lembah untuk melihat air terjun.
Air Terjun Sekumpul, sebutannya. Air terjun yang konon termasuk salah satu air terjun terindah di Bali.
Air Terjun Sekumpul berada 76 km dari pusat Kota Denpasar dan 20 km dari Kota Singaraja. Atau tiga jam perjalanan dari arah Kuta, Bali. Terletak di antara dua desa, Desa Sekumpul dan Desa Lemukih. Tepatnya di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Tapi hanya memakan waktu 45 menit dari Mayo Resort tempat kami menginap selama di Bali Utara
Jalanan yang berkelok-kelok menyambut perjalanan ke sana. Mata saya terjaga disuguhi pemandangan di kiri-kanan. Undakan sawah hijau bertingkat-tingkat tertata begitu rapinya layaknya sebuah mahakarya. Subak demikian masyarakat Bali menyebutnya.
Untuk mencapai ke Air Terjun Sekumpul sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari. Untuk berjaga-jaga karena letaknya yang di pegunungan membuat curah hujan cukup tinggi. Tapi saya tiba saat siang hari dan bersyukur cuaca cerah saat itu. Walaupun sempat khawatir sebelumnya.
Untuk menuju lokasi air terjun kita diwajibkan trekking. Berada di dalam kawasan hutan pegunungan membuat satu-satunya akses menuju ke sana adalah dengan berjalan kaki. Tenang saja, trekking akan didampingi oleh seorang guide yang merupakan penduduk lokal setempat. Cukup memarkirkan kendaraan di tempat yang telah disediakan dan membayar uang masuk.
“Nanti kalau capek pulangnya bisa naik ojek dari sini”, tunjuk Bli Made, pemandu yang menemani saya dan teman-teman. Pemuda bertubuh mungil itu menjelaskan bahwa ini adalah batas pos terakhir yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Dalam hati saya berpikir, “Dekat begini ngapain naik ojek. Aduh, congkak sekali anak muda!”
Perjalanan bermula melewati jalan setapak aspal desa yang menurun dan akhirnya melewati anak tangga yang telah disediakan. Air terjun berada di bawah, inilah yang menjadi nikmat membawa sengsara ketika pulang. Saat pergi kita turun terus-menerus, nggak terasa lelahnya. Tapi saat pulang harus menaiki anak tangga yang banyak dan curam.
Tak hanya itu, untuk menuju ke lokasi air terjun kami juga harus menyeberangi beberapa sungai penuh bebatuan. Bila ke sini, saya sarankan untuk memakai sandal atau sepatu yang nyaman dan anti slip, karena bebatuan sangat licin. Saya terheran dengan Bli Made yang berjalan dengan lincahnya hanya dengan memakai sandal jepit. Sedangkan saya terseok-seok di belakang.
Tertatih saya melangkah memilih pijakan yang aman, takut jatuh terpeleset. Sesekali Bli Made mengulurkan tangannya membantu saya dan teman-teman untuk melewati bebatuan.
Setelah sekitar 20 menit trekking, samar-samar saya melihat air terjun yang dipisah oleh bebatuan. Semakin mendekati, suara gemuruh air terdengar jelas.
Saya bergegas melangkah karena sudah tidak sabar melihat secara dekat. Setibanya di sana, ternyata tidak hanya satu, tapi tiga sekaligus! Rasa lelah hilang seketika.
Jutaan kubik air jatuh dengan bebas ke bawah melalui bukit bebatuan yang ditumbuhi tanaman hijau di sekelilingnya. Percikannya menghasilkan molekul air terbang mengisi udara, menghempas wajah saya. Saya termangu melihatnya.
Menyebur adalah kata pertama yang terlintas di otak saya. Percikan air yang mengenai tubuh saja, segar sekali, apalagi mandi. Beberapa bule wanita berbikini dengan riangnya mandi di bawah air terjun. Saya iri. Tapi hari itu dingin menjelang sore, saya malas membayangkan trekking dengan basah sebadan. Saya urungkan niat untuk mandi.
Ketiga air terjun tersebut dinamakan Air Terjun Gerombong oleh penduduk setempat. Ada sebelas air terjun di kawasan Air Terjun Sekumpul. Tapi yang dibuka aksesnya, baru berjumlah delapan buah air terjun.
Banyak yang menduga bernama Sekumpul karena kumpulan air terjun yang berdekatan. Awalnya juga saya berpikir begitu, Sekumpul karena air terjunnya berkumpul, ternyata salah. Saya coba mengkonfirmasinya langsung ke Bli Made.
“Dinamakan Sekumpul karena terletak di Desa Sekumpul. Para turis yang memberi namanya jadi Air Terjun Sekumpul. Air terjun yang ini namanya Air terjun Gerombong”, jelasnya.
Bli Made juga menambahkan bahwa, di atas air terjun ada sebuah kolam yang menampung air sebelum terjun turun. Dan ketika saya menanyakan apa kita bisa melihatnya, Bli menggelengkan kepalanya, tidak bisa.
Saya kira karena medannya cukup sulit sehingga tidak bisa dikunjungi. Tapi ternyata Bli memberi tahu bahwa kolam tersebut adalah tempat para Dewi mandi. Jadi, menurut kepercayaan masyarakat setempat, tidak boleh dibuka untuk umum.
Saya terkesima dengan penjelasannya. Inilah yang dicintai dari Bali, luhurnya tradisi bersanding dengan hormati alam.
Setelah beberapa lama dan puas mengagumi keindahan Air Terjun Gerombong, kami bergerak ke lokasi air terjun selanjutnya. Air Terjun Gerombong terletak di Desa Lemukih dan air terjun selanjutnya berada di Desa Sekumpul. Air Terjun Sekumpul memang berada di antara dua desa ini.
Pada awalnya kedua desa memperdebatkan kepengelolaan air terjun. Tapi setelah terjadi mediasi, kini permasalahan itu sudah teratasi. Dulu untuk menikmati air terjun ini, pengutipan retribusi dilakukan secara terpisah. Tetapi sekarang sudah dijadikan satu di awal masuk.
Tidak terlalu jauh dari air terjun sebelumnya, Gerombong, saya menjumpai dua buah air terjun. Dua air terjun ini dinamai Air Terjun Pamuatan. Juga tak kalah indah.
Akar pohon berjuntai-juntai menggantung di sekitar air terjun. Ini seperti di film Tarzan, pikir saya. Saya membayangkan Tarzan bergelayut dari satu akar ke akar lainnya, menyebrangi air terjun kemudian berteriak “AUUOOO!”
Tanpa mandi, tubuh saya sudah basah terkena percikan air yang deras. Partikel air yang terbang membuat kabut di sekitar air terjun. Mata saya menangkap sepasang turis asing terlihat sibuk mengabadikan momen mereka. Tiba-tiba si wanita jatuh terpeleset selagi berpose di atas batu. Badannya menghempas batu.
Melihat kekasihnya jatuh, si pria memasang muka datar, tidak melakukan apa-apa. Mandiri sangat menggambarkan hubungan mereka. Tapi mungkin setelah ini ada serial “Sekumpul, I Broke Up! Mungkin.
Tak heran bila melihat turis asing di sini. Air Terjun Sekumpul memang lebih digandrungi turis mancanegara. Selama trekking, saya selalu berpapasan dengan warga negara asing. Tidak menjumpai sama sekali turis lokal di hari itu.
Menurut penjelasan Bli Made, kawasan ini dibuka pertama kali tahun 2002. Pada tahun 2002 akses untuk menuju ke air terjun belum semudah sekarang. Anak tangga yang meringankan trekking belum dibuat. Masih dalam hutan yng belum terjamah.
Pada tahun 2010, baru anak tangga ini dibuat bertahap agar pengujung mudah untuk menuju lokasi. Dan pada saat itu, Air Terjun Sekumpul hanya terkenal dikalangan turis asing. Saya langsung membayangkan seperti apa medan yang harus ditempuh, karena sekarang saja masih membutuhkan perjuangan. Walau dalam keterbatasan akses itu sudah mampu memikat orang luar.
Air Terjun Sekumpul mulai naik daun pada tahun 2015. Turis lokal mulai tahu keberadaan air terjun yang indah ini. Dan mulai berdatangan termasuk saya.
“Kita pulang, sudah mulai sore nanti hujan makin licin”, sahut Bli Made. Saya bingung, di awal tadi Bli Made menjelaskan bahwa ada delapan buah air terjun. Dan saya baru melihat lima, kini kami diajak pulang.
“Bli, tiga lagi di mana?” tanya saya. Lalu Bli menjelaskan bahwa lima air terjun ini yang besar dan yang tiga lagi ada sewaktu kami menyebrangi sungai. Saya baru ingat, karena kecil saya tidak begitu sadar.
Dengan napas ngos-ngosan saya terus menapaki anak tangga. “Sedikit lagi, ini yang terakhir”, ujar Bli Made seakan tahu apa yang ada di pikiran saya. Basah baju telah bercampur dengan basah peluh.
Ujung tangga mulai terlihat. Secercah harapan menungu di ujung sana. Akhirnya setelah pijakan terakhir, saya bisa bernapas lega. Terduduk meneguk minuman sebanyak-banyaknya. Saya tidak sendiri, teman yang lain pun kelelahan.
Saya berjanji akan rajin berolahraga sepulang dari sini, benar-benar melelahkan. Tapi dibalik itu semua saya bahagia. Saya telah merekam dengan jelas keindahan Air Terjun Sekumpul, membaui rasanya dan menjejaknya.
Saya pasti akan kembali lagi. Saya belum mandi merasakan dinginnya Air Terjun Sekumpul. Dan saya harus menuntaskan rasa itu. Walaupun harus melewati curamnya anaknya tangga, lewati lembah dan lintasi gunung. Saya tetap mau dan tidak kapok.
Karena keindahan adalah candu. Dan keindahan itu berada di Sekumpul.
“There is a hidden message in every waterfall. It says, if you are flexible, falling will not hurt you!- Mehmet Murar Idan -
0 komentar